Kurasakan ada debar tak menentu menyerang di balik dadaku, tiba-tiba. Ya, mendadak kurasakan debar aneh itu saat sosok Yoga semakin dekat dari langkahku. Kucoba menghelus dada, aku tak boleh kalah, selama ini yang kudapat hanyalah siksa jiwa meski aku dan Yoga mengaku saling mencintai.
Alasan saling mencintai itulah yang membuatku terpuruk selama ini. Yoga yang temperamental, tak hanya sering membentakku, tapi juga menamparku bila dia tak bisa menguasai dirinya. Namun aku tetap bertahan di sisinya, tetap mempertahankan cinta di hati. Menunggu hingga Yoga yang kukenal dua tahun lalu, membuang sikap kasarnya. Kalaupun memang tak bisa berubah lagi, aku bisa memaklumi sekaligus memaafkannya. Sikap kasar itu kusepuh dengan emas setiap teman bahkan mama menanyakan penyebab air mataku.
Tapi apa yang kudapatkan pada diri Yoga akhir-akhir ini, membuatku tak bisa berfikir dua kali untuk meminta putus saja. Bukan sekali aku melihatnya bermesraan dengan Elsa. Bahkan kemarin kudapatkan mendaratkan kecupan di pipinya.
“Kita putus saja!” ucapku di antara debaran dahsyat yang masih menguasai rongga dada.
Sedikit pun dia tak terkejut dengan kalimatku barusan. Hanya mengulurkan tangan pertanda minta maaf.
“Aku minta maaf. Hubunganku dengan Elsa selama ini hanyalah sandiwara. Untuk memanas-manasi cowoknya. Cuma acting!”
darahku seketika langsung mendidih. Hubungan sejauh itu hanya sandiwara, tanpa pernah meminta persetujuanku? Lalu apa arti diriku selama ini? Hanya untuk dibentak bahkan ditampar? Lagipula, jika itu Cuma sandiwara, mengapa dia dan Elsa harus kaget seperti melihat makhluk alien saat aku hadir di antara mereka?
“Oke, aku percaya, hubungan itu hanya sandiwara. Tapi apakah dengan ciuman kemarin juga Cuma acting, tak berasa? Menggandeng Elsa di depanku, juga Cuma acting?” sinis aku .
kurasakan lenganku sakit tergenggam oleh tangan kokohnya saat kucoba untuk menjauh. Matanya sangat mengharap, memintaku tetap berdiri di depannya. Kucoba memenuhi permintaan itu meski kupilih untuk menunduk. Matanya memang selalu membuatku tunduk, bahkan takluk.
Aku tak pernah punya keberanian untuk menatap matanya saat mukanya memerah karena amarah. Terlebih lagi, aku tak pernah bisa membiarkan mata elang itu dibasahi manik bening dari retinanya sendiri. Ya, Yoga sering menangis untukku dan selalu kubalas dengan pelukan karena tak bisa melihatnya menangis.
Aku pun heran. Semakin lama aku bersama Yoga, semakin aku tak tahu siapa dirinya sebenarnya. Mendengar tawanya yang renyah terkadang membuatku berfikir bahwa Yoga tak mengenal kata marah. Tapi mengapa terkadang hanya karena aku tak ada di rumah saat dia menelepon, amarahnya seperti orang yang mendapatkan kekasihnya selingkuh, tanpa segan menamparku.
Terkadang belum semenit setelah meluapkan amarah, dia langsung menangis di depanku. Berubah lembut, membawaku terbang ke atas angin, setelah meniupkan badai untukku. Berubah menjadi cowok penyayang sejagat, seolah tak pernah ada gejolak yang baru saja hendak menenggelamkanku.
Selama ini aku selalu sabar mengikuti gejolak itu. Karena ku tahu, bada sebesar apa pun, akan ada saatnya untuk reda. Tapi dengan kehadiran Elsa di antara kami, kurasa semua harus berakhir. Elsa sahabatku, aku tak pernah merasa kalah apalagi marah jika Elsa yang jadi juara kelas. Tapi kalau urusan cinta dia mau bersaing, lain lagi ceritanya. Setelah Yoga, aku akan mendatangi Elsa untuk membuat perhitungan.
“Aku memang mencintai Elsa” Yoga jujur kemudian. Kurasakan debar di balik dadaku semakin bergemuruh. Sesak sekaligus menyakitkan! “Tapi aku tak mungkin…”
“Tak mungkin melepaskanku begitu saja?” potongku sinis. “Kenapa tidak? Kamu pikir aku tak bisa mencari penggantimu, atau kamu pikir kebgahagiaan bersamamu tak bisa kulupa begitu saja? Tidak, Yoga!” lanjutku lagi sambil menggeleng.
Aku tak tahu kejujuran ataukah sebaliknya yang baru saja kulontarkan lewat kalimatku. Jika itu kejujuran, lalu mengapa aku merasaikan perih yang menyayat?
Tapi kuyakin juga, aku tak munafik dengan kalimatku barusan. Yoga tak hanya mengutukku menjadi kerbau yang dicocok hidungnya, tapi juga mendesain hidupku menjadi sebuah gagang pintu. Aku hanya punya dua arah, ditekan turun, lalu kembali ke tempat semula. Gerakan selain itu, adalah kerusakan bagiku. Lebih sakit lagi, sebagai gagang pintu aku harus selalu berada dalam genggamannya. Dan searing giliranku untuk tidak membebaskannya keluar-masuk dalam hidupku.
“Jadi kamu tak memaafkanku lagi?” bentaknya kemudian. Jika tak terbiasa, aku akan tersentak mendengar suaranya yang tiba-tiba mengeras.
“Ini yang terakhir kalinya kamu membentakku…” bentakku juga, meski kalimatku terpotong karena harus menangkap tangannya yang melayang hendak menamparku.
“Jangan mimpi bisa menamparku lagi, Ga! Kemarin aku menerima semuanya, bentakan juga tamparanmu, karena aku mencintaimu. Tapi sekarang tidak lagi.”
Saat mata elangnya menatapku lekat, cepat kucari akal untuk menghindar. Jika tidak, aku takut akan terbawa lagi ke pelukannya. Entah atas dorongan apa, tanganku bergerak cepat dan mendaratkna tamparan di wajahnya. Ku yakin dia pun tak pernah menduga bahwa aku berani menamparnya.
“Jangan pikir cuma kamu yang bisa melakukannya,” ucapku kemudian sambil berlalu pergi.
“Erika, dengar aku dulu!”
Tak ingin ku berbalik, meski dia memanggil namaku. Tak ingin ku tatap matanya saat dia menghadang langkahku. Hanya tamparan yang lebih keras lagi kulayangkan ke wajahnya saat dia mencoba menarik bahuku untuk dilabuhkan ke pelukannya.
Dan inilah untuk pertama kalinya aku tak peduli pada air matanya. Aku tetap berlalu meski langkahnya tetap memburuku.
***
Kini giliran Elsa. Dia harus kuberi pelajaran, sahabat seperti itu tak boleh dating dalam hidupku untuk yang ke dua kalinya. Dan untuk kali ini, tak boleh ada kata maaf.
“Eh.., Erika, Yoga mana?” Gugup dia saat menyadari kehadiranku.
“Antara Yoga dan aku tak ada lagi hubungan. Itu yang kamu mau, kan? Oke, aku kalah, tapi sebelum aku menyaluti kemenanganmu, harus kamu tahu bahwa tak akan pernah ada lagi sahabatmu yang bernama Erika.”
“Erika, dengar aku dulu!”
“Jangan pikir aku buta! Tak bisa membedakan antara sandiwara dan pentas kenyataan.”
Bisu kemudian! Aku kehabisan kata, sementara dia tak tahu harus mulai dari mana menjelaskan kebohongan yang akan disodorkan sebagai alas an untukku.
“Aku tak pernah mencinta Yoga, Erika.”
Cerita bohongnya akhirnya menemukan paragraph baru. Kulihat bibirnya masih ingin membuka cerita, rentan kebohongan tepatnya. Tapi cepat ku potong dengan bentakan keras diiringi tamparan keras.
“Jangan munafik!”
Kulihat matanya membola, tanda tak percaya bahwa aku akan menamparnya. Emosiku benar-benar mencapai klimaks.
“Kamu yang jangan munafik!” giliran dia yang meninggikan suara. Air matanya yang tiba-tiba mengucur, sedikitpun tak mengisyaratkan kesedihan. Yang ku dapatkan di sana hanyalah penyesalan.
“Kamu pikir aku tak bisa membaca kesedihanmu selama ini?” lanjut Elsa, mengerutkan keningku! Aku tahu semuanya, jiwamu tersiksa di sisi Yoga. Bukan hanya sekali aku melihat Yoga menamparmu, tapi kamu menyembunyikannya untukku. Di depanku kamu selalu menyepuh cinta Yoga dengan wrana emas, tapi di mataku tetaplah imitasi.”
Tak sadar aku mundur selangkah dari hadapan Elsa. Sepertinya aku salah orang. Aku semakin tak bisa berbuat apa-apa saat intonasi suara Elsa melemah.
“Awalnya kupikir, jika itu cinta, nggak ada salahnya kamu mempertahankan Yoga. Tapi saat kucoba mendekati Yoga untuk menyadarkannya, dia malah berniat mengalihkan cintanya untukku, menduakanmu! Cowok seperti itukah yang kamu pertahankan? Menamparmu dengan alas an cinta tapi tapi ternyata masih tergoda pada cintaku, pada sahabatmu?
Saat itu tak ada lagi jalan lain untukku kecuali menerima cinta Yoga, Erika. Agar kamu tahu siapa Yoga sesungguhnya. Bagiku, jangankan merampasnya darimu, gratis pun aku tak ‘kan mau. Aku hanya ingin kamu membuka mata. Kalaupun dunia selebar daun kelor, Yoga bukanlah cowok satu-satunya.”
Ku tatap kembali tangan yang baru saja kugunakan untuk menampar Elsa, sahabatku. Rasanya ingin kutampar diriku sendiri karena kebodohanku selama ini. Tapi Elsa telah meraih tanganku untuk digenggamnya, lalu memelukku erat. Kutumpahkan tangis di bahunya, hingga kusadar siksa jiwa yang menggelisahkanku selama ini, sirna kini.
Kata putus yang tadi kuvoniskan untuk Elsa ternyata harus kuralat, tapi untuk Yoga tidak akan pernah. Untuknya, tak akan ada kata maaf.
Labels: Blablabla